IZIN CERAI APARATUR SIPIL NEGARA
(Oleh Sumarlin ZBU)
(Oleh Sumarlin ZBU)
5 Desember 2018
Beberapa tahun lalu, seorang Kepala Daerah digugat oleh seorang ibu berstatus ASN Pusat terkait Keputusan yang dikeluarkan Kepala Daerah tersebut. Adapun gugatan yang disampaikan adalah terkait diterbitkannya Persetujuan Izin Cerai kepada suaminya yang juga berstatus sebagai ASN di lingkungan dimana Kepala Daerah tersebut berkuasa yang otomatis adalah stafnya Kepala Daerah tersebut. Sebelum menerbitkan surat persetujuan cerai, presedur administrasi telah berproses secara hirarki dari level bawah, dimulai dari permohonan yang diajukan oleh Penggugat dalam hal ini sang suami kepada Kepala Organisasi Perangkat Daerah tempat yang bersangkutan bertugas, ditindaklanjuti dengan pemanggilan para pihak yang berperkara, melakukan mediasi dan sampailah pada keputusan bahwa keinginan sang suami sudah tidak bisa dikompromikan lagi. Proses kemudian berlanjut ke Badan Kepegawaian Daerah, di BKD proses berlanjut sebagaimana layaknya di OPD asal. Namun juga tidak menemukan titik terang, sang suami tetap pada pendiriannya” CERAI”. Akhirnya diterbitkanlah Surat Keputusan perihal Izin Cerai. Surat tersebut telah sesuai dengan ketentuan sebagaiamana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Terbitnya SK Ijin Cerai, ternyata membuat sang isteri tidak terima, sang isteri menempuh jalur hukum dengan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Meminta Majelis Hakim mencabut dan menyatakan batal SK Kepala Daerah tersebut.
Tulisan ini disajikan bukan untuk membahas keabsahan dari Surat Keputusan terkait Ijin Cerai yang dikeluarkannya atau Sikap sang isteri yang tidak terima diceraikan oleh Suaminya, melainkan membahas layak tidaknya surat ijin tentang persetujuan ijin cerai tersebut digugat dan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan :
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbuldalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Selanjutnya masih di pasal 1 angka 9, menyatakan :
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu Keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan Peraturan perundangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa yang termasuk dalam ruang lingkup sengketa tata usaha negara adalah hal yang berkaitan dengan kebijakan yang dituangkan dalam bentuk surat tertulis oleh pejabat/lembaga tata usaha negara yang menimbulkan akibat keperdetaan bagi perseorangan maupun badan hukum lainnya, termasuk didalamnya sengketa kepegawaian.
Dapat dicontohkan, Korporasi menggugat Pejabat yang mencabut atau menghentikan ijin usahanya, Aparatur Sipli Negara yang tidak terima di mutasi, demosi, diberhentikan, masyarakat yang tidak terima dengan penerbitan Sertifikat Tanah, anggota dewan perwakilan rakyat baik dipusat maupun di daerah yang tidak terima di ganti antar waktu (PAW) dan lainnya.
Selanjutnya yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah keputusan tertulis dari badan atau pejabat tata usaha negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang wajib memenuhi unsur konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Konkret artinya, artinya keputusan yang menjadi obyek sengketa nyata, ada, tidak abstrak, misalnya jika menyakut perijinan maka lokasi usahanya ada, jika menyangkut kepegawaian materi yg menjadi gugatan ada dan bukan wacana.
Individual artinya keputusan tata usaha negara tersebut jelas mengarah kepada individu/lembaga yang memiliki alamat jelas dan harus disebutkan setiap individunya jika lebih dari satu
Final artinya keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara tersebut tidak memerlukan persetujuan dari pihak lain.
Jika kita perhatikan ijin cerai yang diterbitkan oleh Kepala Daerah tidaklah memenuhi unsur final sehingga majelis hakim PTUN pada tingkat pertama belum layak memeriksa, memutus perkara dimaksud. Ijin Cerai yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah hanyalah syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon cerai dalam mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil menyatakan bahwa “ Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh ijin atau surat keterangan dahulu dar pejabat”.
Ijin tersebut bukanlah keputusan atau ketetapan, dapat dikatagorikan sejenis rekomendasi yang bisa diikuti atau ditolak oleh lembaga yang memutuskan dalam hal ini Pengadilan Agama. Yang memutuskan secara final, inkrah adalah Pengadilan Agama, maka tidaklah layak jika Ijin Cerai yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah memenuhi unsur Final. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada pasal 2 huruf (b) yang menyatakan bahwa “ Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan per-setujuan”
Oleh sebab itu, karena ijin cerai yang diterbitkan oleh Kepala Daerah hanyalah sebuah rekomendasi yang masih akan diputuskan/atau ditetapkan oleh pihak lain maka Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut menerima ekspesi para Tergugat untuk menolak gugatan penggugat.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Nomor : 534 K/Pdt/1996, tanggal 18 Juni 1996, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa “dalam perceraian tidak perlu dilihat siapa penyebab percekcokan atau karena salah satu pihak telah meninggalkan pihak yang lain, tetapi yang perlu dilihat adalah perkawinan itu sendiri, apakah perkawinan itu masih dapat dipertahankan atau tidak, karena jika hati kedua pihak sudah pecah maka perkawinan itu sendiri sudah pecah maka tidak mungkin dipersatukan lagi, meskipun salah satu masih menginginkan perkawinan tetap utuh, apabila perkawinan itu tetap dipertahankan maka pihak yang menginginkan perkawinan pecah, tetap akan berbuat yang tidak baik agar perkawinan tetap pecah”.
Selanjutnya agar keputusan pejabat tata usaha negara dalam menerbitkan ijin cerai tidak menimbulkan peluang untuk digugat, maka hendaknya ijin tersebut tidak lagi diterbitkan dalam bentuk Surat Keputusan sebagaimana format pada lampiran VI Surat Edaran Badan Kepegawaian Daerah Nomor 8 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, namun menyesuaikan dengan lampiran II Surat Edaran Badan Kepegawaian Daerah Nomor : 48 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Dengan demikian bagi yang ingin menggugat terkait terbitnya ijin cerai atau mempersulit/menolak gugatan cerai dari salah satu pasangan maka ulasan tersebut patut untuk menjadi bahan pertimbangan. (SZBU)
Komentar