Langsung ke konten utama

MENGGUGAT PASAL 99 UU 32 TAHUN 2009 TENTANG PPLH


MENGGUGAT PASAL 99 UU 32 TAHUN 2009 TENTANG PPLH
(Startegi Penanganan Kebkaran Hutan Dan Lahan
Dalam Konteks Penegakan Hukum Lingkungan)
(Sumarlin ZBU)


Kebakaran lahan menjadi isu lingkungan yang paling serius di Kalimantan Barat, mengingat besarnya danpak yang diakibatkan baik dari aspek ekologis, ekonomi, kesehatan hingga terganggunya hubungan luar negeri. Namun sekalipun permasalahan tersebut  tejadi berulang-berulang dalam rentan waktu yang cukup lama, kebakaran hutan lahan tetap menjadi momok tahunan yang cukup menakutkan apalagi jika memasuki musim kemarau. Seolah tidak pernah ada jurus atau metode jitu yang diperoleh dengan belajar dari pengalaman sebelumnya.

Dampak kebakaran hutan dan lahan sangatlah besar, sebagai gambaran untuk areal 100 ha bergambut dengan vegetasi tanaman sawit ± 3 (tiga) tahun yang terbakar, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Laboratorium  Kebakaran Hutan Lahan, Insitut Pertanian Bogor mengakibatkan kerugian senilai ± Rp. 27.000.000.000. (Perhitungan ini tidak dapat dijadikan patokan menghitung   areal lain yang terbakar karena tergantung kondisi fisik tanah dan vegetasi diatasnya)Kerugian tersebut adalah kerugian yang dapat dihitung dengan menggunakan parameter terukur, belum termasuk didalamnya kerugian yang tidak dapat dihitung misalnya dampak kesehatan, terhentinya aktifitas ekonomi, transportasi baik itu darat, udara dan laut, batalnya kontrak bisnis dan lain sebagainya yang kerugiannya bisa melebihi kerugian yang dapat dihitung.

Permasalahan tersebut tidak berhenti pada kerugian materi, permasalahan muncul pasca kebakaran. Desakan  untuk menyeret Korporasi ke meja hijau tidak kunjung terelaisasi,  Korporasi dengan area lahan terbakar yang cukup luas,  tidak tersentuh hukum. Disisi lain masyarakat yang arealnya terbakar bervariasi mulai dari 3 Ha, hingga 10 Ha terseret ke proses hukum hingga ke pengadilan dengan status TERPIDANA.

Pertanyaan kemudian muncul dibenak kita, apakah penegak hukum tebang pilih dalam menegakkan aturan. Benarkan telah terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat kecil demi memenuhi atensi dari pimpinan.

Para pemerhati lingkungan, pakar hukum dan masyarakat umum akhirnya kemudian berkesimpulan sendiri, barangkali aparat hukum tidak berani menyentuh Korporasi sebagai pemilik modal besar yang dekat dengan kekuasaan, atau barangkali telah terjadi permainan kasus dibelakang layar sehingga Korporasi “aman” dari sentuhan hukum, dan seterusnya, dan seterusnya,...

 Dengan tidak bermaksud membela aparat penegak hukum, mari kita amati keputusan yang ditempuh oleh Kapolda di Riau pada Tahun 2016, beliau berani Meng SP3 kan 15 kasus kebakaran diwilayah hukumnya yang melibatkan Korporasi, bertolak belakang dari sikap keprihatinan dari seorang Presiden yang  saat itu bahkan terjun langsung memadamkan api dan memerintahkan untuk memproses secara hukum Korporasi yang arealnya terbakar hinga tuntas setuntas tuntasnya. Namun uniknya atensi tegas tersebut berujung pada tindakan SP3.

Untuk menjelaskan persoalan diatas, kita harus mengkajinya dari aspek pembuktian terhadap satu perkara dugaan tindak pidana. Undang-undang yang digunakan dalam upaya menyeret pelaku kebakaran terdapat pada pasal 98, 99 dan 108 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal 98  (1)" Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak RplO.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)".

unsur yang harus dipenuhi dalam pembuktian tindak pidana pasal ini adalah :
1.      Setiap orang
2.      dengan sengaja melakukan perbuatan
3.      yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

Unsur “setiap orang”menunjukan adanya pelaku baik perseorangan ataupun badan usaha, unsur “dengan sengaja melakukan perbuatan “menunjukan adanya niat, ada persiapan dan perencanaan dan  telah diwujudkan dalam perbuatan dan selesai dikerjakan dan unsur “yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup” menunjukan bahwa akibat perbuatannya telah mengakibatkan terlampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang dibuktikan dengan hasil uji laboratorium dan dipertegas oleh keterangan Ahli.

Kasus kebakaran yang terjadi di areal korporasi pembuktian Unsur pertama dan kedua sangatlah sulit. Tidak akan ada yang mengaku atau yang dapat menunjukan pelaku pembakar lahan. Areal korporasi yang terbakar adalah areal yang telah ditanami dengan umur tanaman sawitnya bervariasi antara 2 sampai dengan 5 tahun. Mungkinkah Korporasi membakar kebunnya sendiri sehingga menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi mereka?. Kesan yang kemudian muncul adalah Korporasi menjadi korban.Persangkaan Pasal 98 artinya tidak relevan digunakan untuk menjerat Korporasi. Alasan logis yang berani dipertanggungjawabkan oleh penyidik kepada atasannya.

Sebelum membahas pasal 99, mari kita mengkaji pembuktian unsur pada pasal 108 UU 32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH.

Pasal 108: "Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp l0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)".

unsur yang harus dipenuhi dalam pembuktian tindak pidana pasal ini adalah :
1.      Setiap orang
2.      melakukan pembakaran lahan
Berbeda dangan pasal 98 dan 99 yang merupakan delik materil, maka pasal 108 adalah termasuk katagori delik formil dimana tidak memerlukan pembuktian akbiat dari perbuatan yang dikerjakan. Fakta yang dijumpai dalam menyeret pelaku dengan menggunakan pasal ini sangatlah mudah. Ketika ada lahan yang terbakar maka aparat mendatangi TKP dan  bertanya kepada masayarak sekitar, siapa pemilik lahannya. Berdasarkan informasi  itu aparat mendatangi si Pelaku dan menanyakan status kepemilikan lahan. Pelaku mengiyakan bahwa benar dia sebagai pemilik lahan. Selanjutnya ketika ditanya, benarkah anda yang membakar lahan, maka dengan lugunya si pelaku mengiyakan pertanyaan aparat tersebut. 2 alat bukti terpenuhi, areal yang terbakar dan keterangan tersangka. Dengan demikian maka unsur persangkaan pidana terpenuhi, dan jadilah si Pelaku berstatus Tersangka, proses penyidikan berjalan, berlanjut ke penuntutan, persidangan dan statusnya menjadi Terpidana. Tidak ada kriminalisasi, tidak ada upaya mencari kambing hitam karena dalam hukum, berlaku viksi hukum. Masyarakat tidak dapat mengelak hanya karena tidak tahu ada aturan itu.

Selanjutnya mari kita mengkaji unsur yang terdapat pasal 99 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH.

Pasal 99: (l)"Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)".

Perbedaan antara rumusan pasal 98 dan 99 teletak pada sengaja dan kelalaian, jika diuraikan maka unsur-unsurnya adalah :
1.        Setiap orang
2.        Karena kelalaiannya
3.        mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

Penafsiran “Lalai” dimaknai sebagian besar aparat pembuktiannya haruslah pembuktian materil. Ada pelaku yang dengan tidak sengaja membuang puntung rokok yang menyebabkan kebakaran, ada pelaku yang membakar kayu lupa mematikan api atau masih ada bara api tersisa dan seterusnya. Dalam pembuktian pidana yng harus dibuktikan adalah unsur-unsur yang terdapat dalam pasal yang dipersangkakan. Pasal yang dipersangkakan sebagaimana dimaksud pasal 99 UU 32 Tahun 2009 begitulah redaksinya dan demikian juga pemahaman aparat penegak hukum dalam menerapkannya. Lalu,  apakah ada yang salah dalam rumusan itu, menurut kami rumusannya tidak salah, tetapi konsep dalam memahami makna “LALAI” lah yang harus diperluas.

Seluruh UndangUndang yang menempatkan Korporasi sebagai subyek dapat dipidana yang berlaku di Indonesia mengandung konsep VICARIUS LIABILITY. Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak menjadi masalah apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah aktivitas tersebut telah dilarang oleh perusahaan atau tidak. umusannya

Rumusannya dapat kita lihat dalam pasal 116 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH.

Pasal 116
(1)      Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a.  badan usaha; dan/atau
b.  orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2)      Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Konsep vicarius liability dan rumusan pasal 116 menegaskan apabila ada suatu tindakan yang dilakukan oleh pengurus atas nama Korporasi maka badan usaha tersebut dapat dipidana atau pidana juga dapat dijatuhkan kepada orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha memberikan perintah tindak pidana  kepada bawahannya. Konsep ini juga dapat melindungi/membebaskan korporasi apabila pelaksana kegiatan melakukan tindakan/perbuatan diluar kebijakan Korporasi.
Pada kasus lain barangkali konsep ini tepat dan baik untuk digunakan, namun konsep vicarious liability tidak harus diterapkan untuk seluruh kejahatan. Apakah akan diterapkan atau tidak adalah masalah dalam interpretasi terhadap undang-undang berhubungan dengan kebijakan atas keberadaan undang-undang tersebut dan apakah penggunaan vicarious liability akan membantu pelaksanaan undang-undang. Sangat sulit untuk dipastikan apakah vicarious liability dapat diterapkan dalam setiap kasus, terutama kasus lingkungan yang memliki karakteristik khusus dalam penanganan dan pembuktiannya.

Contoh kasus yang terjadi di Rumah Sakit Ibu dan Anak Depok dapat menjadi pelajaran untuk kita kaji bersama terkait efektifitas penggunaan konsep teori ini khusus pada kasus tindak pidana lingkungan hidup. Dengan terdakwa DRG. Julius Ahmad Zuir selaku Direktur dan Arie Setyo Wahyudi, SKM, selaku Kepala Bagian Sarana dan Prasarana. Pada kurun waktu tahun 2002, tahun 2003, dan tahun 2004 terdakwah bekerja di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Hermina Depok. Keduanya didakwah sebagai orang yang melakukan atau menyuruh lakukan atau turut melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Permasalahan muncul dari adanya hasil pemantauan yang dilakukan oleh Laboratorium Tekhnologi dan Manajemen Lingkungan Institut Pertanian Bogor dimana sampel air limbah RSIA Hermina Depok masih dibawah standar, sehingga keluar surat teguran berupa peringatan. Namun pada Rabu tanggal 2 Juni 2004, pihak Polres Depok melakukan pengambilan sampel limbah cair dengan kesimpulan limbah cair RSIA Hermina Depok telah melampaui batas ambang baku mutu yang ditetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Sehingga Julius dan Arie Setyo dikenakan pidana pencemaran lingkungan. hal tersebut menyebabkan Julius dijatuhkan pidana selama satu tahun penjara dengan masa percobaan selama dua tahun, dan Arie Setyo dijatuhkan pidana satu tahun penjara dengan masa percobaan selama dua tahun. Selain itu kedua terdakwa dikenakan denda sebesar Rp.100.000.000,- subsidair enam bulan kurungan.

Jika kita cermati, peristiwa tersebut tidaklah berdiri sendiri. DRG. Julius Ahmad Zuir dan Arie Setyo Wahyudi, SKM, hanyalah karyawan yang diberitanggungjawab oleh Korporasi dalam menjalankan usahanya. Pada saat pendirian Rumah Sakit telah ada komitmen untuk melakukan pengelolaan lingkungan sesuai ketentuan perundangan, maka komitmen tersebut harus dijabarkan dalam bentuk SOP Pengelolaan Lingkungan  dan di suport dengan pengagnggaran yang layak. Penanggungjawab kegiatan Korporasi selama ini di doktrin bagaiaman mereka bekerja agar usaha yang dijalankan dapat memberikan profit maksimal dengan iming-iming bonus dan karir. Inilah yang kemudian menjadikan pelaksana kegiatan lebih berpikir profit orientid dan mengabaikan aspek lain yang hanya bersifat menimbulkan cost bagi korporasi.
Apa yang dapat dilakukan oleh seorang Direktur Rumah Sakit ketika menerima teguran tentang hasil limbahnya telah melampaui baku mutu sementara tidak ada pembiayaan/anggaran yang disiapkan untuk menurunkan baku mutu tersebut.Bahkan jauh sebelum kasus itu terungkap, sudah harus ada SOP yang dibuat oleh Korporasi terkait upaya pemantauan limbah secara rutin setiap bulan agar  limbah yang dihasilkan memenuhi baku mutu. Kondisi ini yang membuat pelaksana kegiatan mulai dari level tertinggi hingga pelaksana di tingkat bawah “terjebak” pada kasus hukum yang mereka tidak sadari dan korporasi terbebas dari tanggungjawab karena unsur “tidak menyuruh melakukan” secara tegas bukanlah bagian dari hal dalam pemahaman konsep vicarius liabilty, kecuali jika aparat penegak hukum memaknainya lain. 
Kondisi ideal dalam pengelolaan LH dipraktekan disebuah perusahaan Kertas PT. Pindodeli di Kerawang. Manajemen pengolahan limbahnya merupakan item penilaian bagi Korporasi menyangkut kinerja para  pelaksananya. Kinerja pelaksana tidak hanya diukur dari peningkatan produksi dan profit namun kinerja pengelolaan LH juga merupakan bagian dari penilaian kinerja. Divisi lingkungan terkoneksi dengan divisi produksi, yang jika salah satu parameter limbah melampaui baku mutu maka divisi lingkungan membuat laporan yang langsung ditindaklanjuti oleh divisi produksi untuk memperbaiki proses produksi yang “bermasalah”.  Demikian halnya juga yang dilakukan oleh PT. Harapan Sawit Lestari, Ketapang. Koneksitas antara bagian produksi dan bagian yang menangani LH serta bagian lain yang berkaitan terjalin dengan baik, setiap permasalahan teridentifikasi sejak awal sehingga penanganan serba cepat yang telah tertuang  dalam SOP Korporasi yang didukung dengan pendanaan memadai sehingga siapapun pelaksana kegiatan Insha Allah akan aman tentram, bebas dari masalah hukum kecuali jika ada faktor kebencanaan.
Kembali ke pokok masalah pembahasan kebakaran lahan di Kalimantan Barat, kebakaran yang terjadi diareal Korporasi sebagaian besar adalah areal yang telah tertanam. Kesan yang muncul kemudian Korporasi adalah korban. Ketika unsur “sengaja” tidak dapat dibuktikan, maka unsur “lalai” pun tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya bukti materil seperti yang telah dibahas sebelumnya. Padahal jika kita mendalami substansinya, banyak hal yang dapat digali untuk membuktikan bahwa sikap “lalai” itu bisa dibuktikan. Sikap “lalai” yang telah dilakukan oleh korporasi dapat diuraikan sebagi berikut :
Pada saat Korporasi akan beroperasi, maka telah ada survey yang dilakukan sebelumnya, termasuk didalamnya potensi kebakaran lahan yang dapat menimbulkan kerugian besar. Maka korporasi harus memiliki SOP dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001, Permen    yang harus dijabarkan dalam bentuk program kerja, didukung oleh sumber daya manusia yang terlatih dan yang tak kalah penting adalah penganggarannya. Semua bekerja dalam sistem yang terkoneksi sekaligus kinerjanya dalam pencegahan kebakaran lahan menjadi tolok ukur penilian kinerja secara umum. Item kegiatan mulai dari pengadaan sarana prasarana, motor, mobil, Truck, Excavator, pompa air kapasitas besar, menara api dengan jumlah memadai, mengadakan patroli rutin, memasang plang larangan bahaya api disetiap sudut, membangun embung air,  tangki air dan lain sebagainya.
Pada  kasus kebakaran diareal Korporasi,  yang terbakar dapat mencapai 50 hingga ratusan hektar. Padahal bukankah kebakaran itu barawal  dari luasan 1M2, 20M2, 0,5Ha, 1Ha, 3,Ha dan kejadian tersebut membutuhkan waktu sekian menit, sekian jam hingga waktu berhari-hari. Kemana personil yang telah dibentuk, bagaimana presedur mobilisasi alat pemadam kebakaran pada saat menerima informasi terjadi kebakaran (itupun jika ada personil yang patroli), bagaimana manajemen lokalisasi api, bukankan kondisi lapangan pada areal perkebunan lebih “jinak” ketimbang jika kebakaran terjadi di areal hutan?. Kewajiban korporasi tidak cukup berhenti sampai disitu. Sebagai badan usaha yang memiliki sumber daya finansial dan posisinya yang terdekat dengan sumber-sumber kebakaran  harus mampu memainkan peranannya dalam mengedukasi masyarakat disekitar dan melibatkan seluruh potensi yang ada mulai dariperangkat-perangkat Desa, Kecamatan, majelis adat, organisasi kepemudaan, tokoh agama, PKK dan lainnya untuk secara masif memberikan sosialisasi tentang bahaya kebakaran. Korporasi juga dapat membantu dan melakukan pendampingan bagi masyarakat yang ingin memanfaatkan kebijakan kearifan lokal yang termuat pada Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, membuka lahan dengan cara bakar maksimal 2 ha untuk 1 KK. Semua itu membutuhkan kemauan yang kuat dari Korporasi karena menyangkut tentang personil, sumber daya manusia, peralatan, waktu, yang berujung kepada “kebijakan anggaran” yang harus diubah mindsitenya dari yang selama ini dianggap cost harus dibalik dengan mengganggapnya sebagai bagian dari investasi.
Jika kita memaknai secara substansi permasalahan tersebut maka sebenarnya pada saat terjadi kebakaran diareal perkebunan sawit perusahaan, entah itu sumbernya dari lokasinya sendiri atau dampak dari aktifitas pembukaan lahan yang dilakukan oleh masayarakat sekitar maka penyebabnya utamanya adalah karena tidak dijalankan fungsi dan peran korporasi dalam menjalankan kewajiban pencegahan dan pengendalian kebakaran. Maka disinilah aparat harus berani melakukan terebosan hukum dengan memperluas makna “Lalai” sehingga Korporasi dapat dipidana sekalipun mereka yang menjadi korban akibat kebakaran tersebut. Seorang komandan pasukan yang ditugaskan oleh rajanya untuk mengantar seorang puteri kesuatu tempat dalam perjalanan yang  jauh, yang diketahuinya banyak rintangan dan gangguan selama dalam perjalanan dan hanya dikawal dengan beberapa personil yang kurang terampil dengan peralatan pertahanan diri yang terbatas, tidak dapat disalahkan jika sang komandan dan pasuakannya tidak tuntas atau gagal menyelesaikan tugasnya. Sang Rajalah yang bersalah, sudah mengetahui bahwa medan yang akan dilalui oleh anaknya berat dan berbahaya namun pasukan yang diperintahkan untuk mengawal tidak cukup terampil dan tidak didukung oleh peratalan pertahanan diri yang tidak seimbang dengan resiko selama dalam perjalanan.
Konsep vicarius liabilty yang terkandung dalam UU 32 Tahun 2009 membuat para penegak hukum “enggan” memperluas makna lalai  karena kebijakan korporasi juga jelas,  bahwa pembukaan lahan wajib menggunakan sistem mekanis dan zero burning, padahal melihat suatu kejadian tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu sebab akibat baik karena atas suatu perintah untuk melakukan atau karena  tidak menyuruh melakukan sebagaimana konsep yang dianut oleh AGERAGATION DOCTRIN yakni sebuah alternatif dasar bagi pembentukan tanggung jawab pidana. Menurut pendekatan ini, tindak pidana tidak bisa hanya diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan semua tindakan dan niat dari beragam orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan apakah Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam pasal yang dipersangkakan secara keseluruhannya tindakan mereka akan merupakan suatu kejahatan atau senilai dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang. Sebagai contoh, apabila berbuat atau tidak berbuatnya A, B, C dan D secara kumulatif akan menimbulkan kerugian dan apabila unsur mental atau kelalaian mereka digabungkan akan menghasilkan niat untuk suatu kejahatan, korporasi dapat dimintai pertanggung-jawaban. Tidak berbuatnya korporasi dalam menciptakan SOP pencegahan dan pengendalian kebakaran yang didukung oleh anggaran yang layak menyebabkan terjadinya kebakaran luas diarealnya yang berimbas pada penangkapan terhadap masyarakat kecil karena melakukan pembukaan lahan dengan cara bakar. Secara defacto benar masyarakat yang membakar,  kemudian merembet ke areal perusahaan, tapi secara substansi itu terjadi karena ada tanggungjawab,fungsi, peran dari korporasi yang tidak dijalankan secara maksimal.  masyarakat kecil yang hanya ingin menyambung hidupnya dari sepetak lahan, yang ketika ditanya oleh aparat, siapa yang membakar lahan, dengan lugunya mereka menjawab, saya pak, menjadi korban dari sebuah sistem pemahaman hukum yang sempit.  Jika berdasarkan demikian, maka  benar TELAH TERJADI KRIMINALISASI terhadap masyarakat lokal.
Berdasarkan uraian diatas sepanjang perluasan makna “lalai” tidak dilakukan melalui sebuah surat edaran baik ditingkat penyidikan dan  penuntutan atau melakukan revisi terhadap pasal 99 Undang-undang 32 Tahun 2009 pada penjelasan maka percayalah, penanganan kasus kebakaran diareal korporasi tidak akan pernah mengalami kemajuan, akan sama hasilnya antara kasus yang ditangani di tahun 1970an dengan kasus yang akan ditangani tahun 2100 kelak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lowongan Kerja RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Lowongan Kerja RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta - Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito adalah rumah sakit umum yang terletak di Sinduadi, Mlati, Kabupaten Sleman, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai rumah sakit terbesar di Kota Jogja, RSUP Dr. Sardjito berusaha mengembangkan diri menjadi rumah sakit bertaraf internasional agar mampu menangani permasalahan kesehatan dengan lebih baik. Untuk meningkatkan kinerja serta mewujudkan visi misi nya, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta kembali membuka Lowongan Kerja kesempatan kepada putra putri Indonesia untuk bergabung menjadi bagian dari  RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta  yaitu melalui : Rekrutmen Loker Terbaru RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta  sebagai berikut : Untuk mencapai visi kemenkes yaitu menjadi kelompok bisnis terkemuka di Indonesia yang memberikan pelayanan terbaik kepada stakeholder-nya,  Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta  sedang mencari pemuda - pemudi terbaik...

INFO SMA/SMK Loker PT. Hong Xhe Industrial Cikarang News Via Pos 2018

Loker PT. Hong Xhe Industrial Cikarang Lowongan Kerja driver/supir Info News Lowongan Via Pos, Info Lowongan Kerja SMA/SMK Loker Terbaru Hari Ini Lowongan Kerja Pabrik Informasi Lowongan Pekerjaan di Driver/Supir PT. Hong Xhe Industrial.PT. Hong Xhe Industrial berdiri pada tahun 2011 bergerak di bidang jasa konstruksi ( General Conttractor ). PT. Hong Xhe Industrial berlokasi di Lippo Cikarang

NDX A.K.A - Sengit

Intro : C Am F G  C                    Am Janji….neng nyatane endi           F                G mbendino aku….mong tok apusi..    C                      Am pisan pindho….isih tak apurani            F                 G ning yo ngopo….isih mbok baleni..   C                    Am Omonganmu….ra iso di gugu           F                   G janji setiamu….kabeh mung palsu..    C                   Am