Sejak ambruknya industri kehutanan pada era awal tahun 2000, budi daya Kelapa Sawit menjadi bisnis primadona yang paling dilirik oleh para pengusaha. Tidak tanggung-tanggung, Group besar seperti Wilmar, Djarum, Sinar Mas, LG, Cargil, Ganda Prima, Indofood, Sampoerna beserta group lainnya dan ditambah dengan pengusaha serta petani lokal berlomba mengembangkan komoditi ini.
Berdasarkan data terakhir, Di Kalimantan Barat terdapat ± 1.500.000 Ha lahan perkebunan sawit dengan potensi produksi TBS ± 2,9 JutaTon /tahun. Buah Kelapa Sawit yang telah dipanen langsung diolah di Pabrik terdekat. Dalam proses pengolahan tersebut tidaklah sempurna, terdapat loses pada kisaran ± 2% yang ikut terbawa oleh limbah cair yang ditampung dikolam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada kolam cooling Pond.
Minyak ini dipasaran terkenal dengan sebutan “MIKO” atau Minyak Kotor. Man diantaranya adalah sebagai bahan dasar pembuatan kosmetik dan juga sebagai bahan baku Biodisel.
Bisnis Miko ini cukup menggiurkan, terbukti dengan banyaknya permintaan baik dalam maupun luar negeri. Stoknya yang terbatas membuat bisnis ini mejadi sedikit exclusive sehingga terkadang hanya pihak-pihak tertentu saja yang dapat mengerjakannya. Selain itu, dampak sosial yang ditimbulkan juga membuat manajemen Pabrik Kelapa Sawit agak menutup diri dalam mengelola bisnis ini.
Berdasarkan Fakta lapangan terdapat 3 katagori sikap/respon perusahaan dalam menangani/mengelola bisnis Miko ini, Yakni :
1. Katagori Pertama, Perusahaan beranggapan bahwa Miko tersebut adalah aset, sehingga hasil penjualannya menjadi pemasukan bagi perusahaan dan lelangnya dilakukan di kantor pusat
2. Katagori Kedua, Perusahaan dilevel pusat tidak terlalu mau ikut campur dalam pengelolaan Miko tersebut, bagi mereka yang penting aman dan tidak ada masalah baik lingkungan maupun sosial, pada katagori ini biasanya kantor cabang yang memegang peran dalam pengelolaannya, dan
3. Katagori Ketiga, Perusahaan melarang Miko diperjualbelikan dengan pertimbangan tidak ingin ada masalah baik lingkungan maupun sosial.
Terlepas dari ketiga katagori tersebut, bahwa Miko hanyalah LIMBAH, atau SAMPAH yang
sebenarnya suddianggaph“ tidak bernilai” lagi, maka sudah seharusny terlalu “ngotot” untuk mendapatkan tambahan pemasukan dari sesu Limbah. Pada beberapa kasus diperusahaan lain, limbah yang masih bermanfaat biasanya
akses pengelolaan atau pemanfatannya diberikan kepada masyarakat. Pada pabrik karet misalnya, limbah padat berupa tanah dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk pupuk secara Cuma-Cuma.
Baca juga Limbah Sawit untuk Pangan
https://jendelahukum79.blogspot.com/2019/03/jeritan-dari-belantara-sawit.html?m=1
Baca juga Limbah Sawit untuk Pangan
https://jendelahukum79.blogspot.com/2019/03/jeritan-dari-belantara-sawit.html?m=1
Kembali terkait pengelolaan Miko, mungkin karena masih bernilai tinggi, tidaklah mengapa jika perusahaan masih berharap income dari penjualan Mikonya, namun sudah selayaknya jika dalam pengelolaan dan penjualannya Pihak Perusahaan menggandeng pihak BUMDES setempat.
Potensi MIKO dapat digambarkan sebagai berikut :
1Rata-rata lebar ukuran kolam 1 (cooling Pond) tempat terjadinya penumpukan Miko adalah:
Uk. Kolam L = 30 m x P = 80 m x T = 6 m = 14. 400 MT
- Potensi air 40% = 4.320 MT
- Potensi lumpur 50% = 7.200 MT
- Potensi Miko 10% = 1.440 MT
Dikalimantan Barat saat ini berdasarkan data terakhir terdapat 81 Pabrik Kelapa Sawit, jika masing-masing pabrik berpotensi memiliki Miko seperti data tersebut maka dengan asumsi harga Miko USD 400/MT akan diperoleh transaksi senilai USD 400 X 1.440 MT = Rp. 8.064 000.000,- dalam kurs Rp. 14.000/USD
Jika BUMDES diberikan kesempatan untuk mengelola dan menjual Miko tersebut sebagai bentuk Comunity Develoment dari pihak perusahaan, maka dengan komisi 10% saja BUMDES akan mendapat pemasukan sebesar Rp. 800 Juta/Tahun.
Potensi tersebut belum termasuk pemanfaatan lumpur yang mencapai 7.200 MT, dengan volume yang dapat diangkut sebesar 85% dan dengan rendemen 60% maka terdapat potensi lumpur yang dapt dijadikan Pupuk Organik sejumlah 3.672 MT, jika dikalkulasi dengan harga Rp. 3000/Kg maka terdapat potensi ± 11 Miliar, terbayang betapa sejahteranya Desa yang diwilayahnya beroperasi pabrik Kelapa Sawit. Masyarakat Pupuk organik tersebut cukup dijual kepada masyarakat sekitar dan juga kepada perusahaan. Hal tersebut sekaligus menjawab kelangkaan dan mahalnya pupuk kimia. Dengan demikian maka Rakyat sejahtera dan Perusahaan diuntungkan karena kolamnya sudah ikut terkuras untuk maksimalisasi kinerja IPAL. Perhitungan tersebut belum lagi jika memanfaatkan gas metan untuk dijadikan energi.
Untuk itu diperlukan intervensi dari pemerintah dengan membuat kebijakan agar pemanfaatan limbah Miko di kolam IPAL menggandeng BUMDES setempat. Jika ini dilakukan, maka percepatan realisasi program Desa Mandiri dapat wujudkan, dengan asumsi Pabrik PKS sejumlah 81 unit, maka ada 81 desa yang siap didorong untuk menjadi Desa Mandiri. Kebijakan juga dapat diperluas dengan menjadikan komoditi tersebut sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah. (Tulisan dibuat berdasarkan pengalaman lapangan dan didukung oleh data berdasarkan hasil analisa PT. Berkah Nabati Nusantara, SZBU)
1 Seluruh yang berkaitan dengan analisis data bersumber dari PT. Berkah Nabati Nusantara
Komentar