RELEVANKAH?
Oleh : Sumarlin ZBU
Kamis, 8 November 2018
Dalam sebuah diskusi sederhana di group whatsapp, muncul sebuah komentar “ Bukankah semua orang sama dimata hukum “. Kalimat ini cukup menarik bagi kami, mengingatkan pada pernyataan yang pernah disampaikan oleh seorang soiolog hukum bergelar Profesor Doktor sekitar tahun 2011-2012. Dari Gestur tubuhnya Beliau sangat membenci kalimat ini, entah apa yang mendasarinya namun pernyataan tersebut cukup menggelitik penulis untuk mencari tahu alasan pembenarannya, namun karena kesibukan tidak pernah melakukannya, hanya terbatas terngiang dalam benak. Ungkapan yang kembali muncul dalam diskusi tersebut kembali menggerakan penulis untuk mengkajinya lebih serius.
“ SEMUA ORANG SAMA DIMATA HUKUM” sudah tak asing ditelinga kita, ungkapan yang senantiasa muncul dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan masyarakat awampun tidak asing dengan ungkapan ini. Pernyataan tersebut sebenarnya adalah bentuk perlindungan hak asasi manusia yang diberikan oleh negara kepada rakyat dalam melindungi hak-hak dasarnya, maka tidak tanggung-tanggung, pernyataan tersebut tertuang langsung dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum”.
Lalu apa yang salah dalam slogan ini sehingga menarik untuk dikaji, Tidak ada yang salah sebenarnya dalam slogan ini, tapi penulis akan menyajikan beberapa kasus yang pernah terjadi untuk dapat memahami makna slogan tersebut.
Pada tahun 2016 dunia maya digegerkan dengan ulah seorang Pejabat Kementerian yang menggugat seorang Pengusaha Laundry karena jas dan batiknya rusak setelah dicuci di laundry kiloan. Sebagai warga negara berdasarkan pasal 28D ayat (1) UUD 1945, terlepas kedudukannya sebagai pejabat maka memiliki hak untuk melakukan upaya hukum yang merugikan dirinya atas dasar “semua orang sama dimata hukum”. Namun apa yang terjadi, tindakan pejabat tersebut justru mendapat hujatan dan cemoohan dari ribuan natizen. Natizen tidak menghargai pejabat tersebut dalam menggunakan haknya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
Masih ingat kisah nenek minah yang sempat menggegerkan tanah air, Nenek Minah (55) pelaku pencurian 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan menjadi Terpidana dan diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Jutaan simpati dan pembelaan mengalir dari seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari masyarakat biasa, pemerhati hukum, LSM, Pejabat Pemerintah dan para pengacara.
Padahal, entah sadar atau tidak, secara Hukum formil kita sedang membela orang yang salah dan mencemooh warga lain yang ingin menggunakan hak hukumnya yang dilindungi Undang undang bedasarkan “semua orang sama dimata hukum”.
Selanjutnya mari kita bergeser pada kasus yang menimpa Jennifer Elizabeth Wehanto belum lama ini, seorang petugas Bandara Samrutalangi yang ditampar oleh seorang calon penumpang yang mengaku sebagai isteri Jenderal Polisi. Istri sang Jenderal merasa tidak senang dengan presedur melepas jam tangan yang diperintahkan oleh Jennifer Elizabeth Wehanto hingga berujung pada penamparan.
Berita ini menjadi viral dimedia sosial dan mewarnai layar kaca Indonesia selama ± sepekan. Masyarakat berbondong menyayangkan dan mencela sikap sang istri jenderal dan menaruh simpati terhadap Jennifer Elizabeth Wehanto dan mendorong agar istri sang Jendral di proses melalui jalur hukum dengan berdasar pada “semua orang sama dimata hukum”.
Dari ketiga contoh kasus tersebut, ada hal yang menarik untuk dikaji, Kasus Pertama dan kasus Kedua menggambarkan sosok yang memilki kedudukan, mewakili kaum golongan menengah keatas (Pejabat Kementerian dan PT. dan Rumpun Sari Antan) memperkarakan pihak lain yang kebetulan status sosialnya mewakili masyarakat lemah, tidak berdaya (Pengusaha laundry dan Nek Minah). Gugatan dan laporan keduanya, sekalipun itu merupakan hak mereka berdasar “ semua orang sama dimata hukum” tidak serta merta mendapat respon positip dari masyarakat. Bahkan sebaliknya yang diperoleh, hujatan dan cibiran. Pada kasus ketiga sosok Jennifer Elizabeth Wehanto yang mengalami tindakan arogansi dari seorang ibu istri Jendral mendapat simpati yang luar biasa dari masyarakat dan bahkan masyarakat mendorong korban untuk memperkarakan perlakuan istri sang jendral ke ranah hukum. Publik menuntut adanya prinsip “ semua orang sama dimata hukum” dalam memproses perkara tersebut.
Ketiga kasus tersebut seolah membalikkan logika hukum yang sudah kita pahami bersama, bahwa “Semua orang sama dimata hukum”. Pejebat kementerian dan PT. Rumpun Sari Antam sedang menggunakan haknya, menuntut dan melaporkan pihak lain yang merugikan dirinya, namun justru mendapat hujatan, cibiran dan dan dicap tidak memiliki rasa kemanusiaan, dan disisi lain tindakan yang dilakukan oleh Jenifer Elizabeth Wehanto yang menggunakan haknya, melaporkan istri sang Jendral dengan prinsip “ semua orang sama dimata hukum” mendapat apresiasi dan suport dari masyarakat luas. Sama-sama sedang menggunakan hak sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum”. Namun mendapat respon yang berbeda, Lalu apa yang salah ?
“ RASA KEADILAN DI MASYARAKAT” inilah jawaban logis menyikapi respon publik atas ketiga perkara hukum tersebut. Anomali hukum yang dipertontonkan secara vulgar yang beruntun terjadi dinegeri ini seolah membangkitkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan perlawanan atas segala simbol yang berbentuk penindasan dan kesewenangan. Seringkali Keadilan formal tidak berbanding lurus dengan rasa keadilan dimasyarakat. Vonis hakim atas perkara yang mereka tangani semata untuk memenuhi kewajiban formal dengan berdasar pada aturan formal serta mengikuti hukum beracara formal. Menjaga wibawa dan marwah hukum demi tegaknya kepastian hukum terkadang sedikit mengoyak rasa keadilan dan bahkan bertentangan dengan hati nurani sang hakim yang menangani perkara. Sikap yang dilkukan oleh seorang pejabat kementerian yang menuntut pengusaha laundri kiloan menggambarkan sikap kearogansian terhadap kaum yang lemah. Demikian juga langkah yang ditempuh oleh PT. Rumpun Sari Antan dalam memperkarakan Nek Minah, menggambarkan sikap tidak berperikemanusiaan, menuntut masyarakat kecil dan tua renta tak berdaya, sikap yang tidak berbeda juga ditunjukan oleh istri sang Jendral yang menunjukan kesewenang-wenang, angkuh dan sombong. Inilah yang memancing respon publik berdasarkan hati nurani dan mengabaikan hukum formil. Jadi penilainnya bukan terletak pada prinsip “ semua orang sama dimata hukum” tapi atas dasar jenis kasus, latar belakang dan karakter yang ditunjukan oleh para subyek hukum yang terlibat dalam perkara itu.
Fenomena tersebut hanyalah sebagian kecil dari ratusan kasus yang yang terjadi dinegeri ini dan merupakan konsekwensi dari sistem hukum kita yang mengadopsi “civil law” atau lebih dikenal dengan “Eropa kontinental”. Sebuah sistem yang menyandarkan segala penyelesaian hukum berdasarkan aturan yang ditetapkan. Menggiring dan membatasi penegak hukum dalam berinovasi menciptakan hukum untuk menemukan keadilan sebenarnya. Berbeda dengan aliran “common law” yang sering mengesampingkan Undang-undang untuk mencari keadilan substansi dengan merujuk penyelesaian perkara berdasarkan kasus perkasus.
Dalam sejarahnya, Indonesia pernah memiliki Hakim kontroversi beraliran common law, sosok hakim yang tidak mau terkungkung oleh aturan, mengedepankan KEADILAN ketimbang KEPASTIAN HUKUM. Dialah Hakim Bismar Siregar, sosok hakim yang sangat disegani dan dihormati, bekerja atas dasar nilai-nilai keimanan yang kukuh, memutus perkara dengan pertimbangan yang “tidak biasa” yang dilakukan oleh para hakim pada umumnya.
Dari uraian diatas, kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis adalah, slogan “bahwa semua orang sama dimata hukum” dalam penerapannya haruslah melihat kasus perkasus dengan mengedepankan rasa keadilan ketimbang Kepastian Hukum. Kira-kira mungkin itu maksud sang Profesor. Wallahualam,..
Komentar