MEMAHAMI DISKRESI BERDASARKAN UU NOMOR 30/2014 TENTANG ADMINSITRASI PEMERINTAHAN
(Oleh : Sumarlin ZBU)
Dalam berbagai kesempatan kita sering mendengar istilah Diskresi, Diskresi yang terlintas dalam benak kita adalah sebuah tindakan/perbuatan menyimpang atau mengesampingkan aturan karena keadaan atau situasi tertentu.
Dijalan raya penyimpangan atau pengabaian aturan lalu lintas sering kita jumpai, misalnya petugas lalu lintas yang mempersilahkan/mengarahkan kita untuk tetap berjalan disaat lampu merah sedang menyala atau sebaliknya menghentikan pengendara disaat lampu sedang hijau, petugas kepolisian yang membantu masyarakat menyeberang tidak pada tempatnya dan lain sebagainya.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah penyimpangan atau pengabaian terhadap aturan lalu lintas yang dilakukan oleh petugas kepolisian tersebut masuk dalam katagori Diskresi ?
Dalam sebuah forum rapat, terdapat permasalahan yang menjadi diskusi menarik terkait pemahaman tentang diskresi. Konon terdapat areal konsesi lahan untuk budi daya tanaman perkebunan yang dibiarkan terlantar selama beberapa tahun. Karena tidak ada aktifitas oleh pemegang konsesinya maka lahan tersebut diminati oleh pengusaha lain yang lebih serius dalam pemanfaatan lahan. Maka proses dan tahapan pengajuan perijinan dilakukan untuk mendapatkan ijin konsesi. Pejabat yang berwenang tanpa mencabut terlebih dahulu ijin sebelumnya menerbitkan ijin baru disebagian lahan yang telah diterbitkan ijinnya pada pihak lain. Alasannya Pejabat yang berwenang, menggunakan hak diskresinya dalam rangka mempermudah investasi masuk, membuka lapangan pekerjaan dan membuka akses keterisolasian wilayah.
link terkait
Kewenangan Plt dalam sistem administrasi negara
Tata Naskah Dinas
Pemecatan PNS yang berlau surut
Pada kasus lain dinas yang menangani urusan pendidikan setingkat SLTA dihadapkan dengan permasalahan masih banyaknya kekosongan jabatan Kepala Sekolah disaat para siswa kelas 15 akan memasuki Ujian Nasional. Ijazah kelulusan siswa yang mengikuti ujian nasional harus ditanda tangani oleh Kepala Sekolah defenitip. Sementara untuk menunjuk guru menjadi Kepala Sekolah defenitip haruslah memenuhi syarat sebagaiamana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Syarat berdasarkan Permendikbud tersebut diantaranya memuat :
1. Memiliki pengalaman mengajar minimal 6 (enam) tahun
2. Berpangkat minimal IIIc
3. Memiliki pengalaman manajerial minimal 2 (dua) tahun
Ketentuan tersebut didaerah tertentu seperti Jawa, Sulawesi dan sebagian Sumatera mungkin dapat diterapkan, namun bagaimana untuk daerah seperti di Kalimantan, Papua yang memiliki wilayah 3 T (Tertinggal, Terdepan dan Terisolasi). Terdapat beberapa sekolah yang hanya memiliki 1 (satu) orang PNS dan belum memenuhi syarat sebagaiaman diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut apakah Pejabat yang berwenang dapat mengabaikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah dengan alasan Diskresi ?
Diskresi Dalam kamus Bahasa Indonesia adalah kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan
Selanjutnya dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan :
Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi:
a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Berdasarkan ketetentuan tersebut, tindakan diskresi yang dilakukan oleh Pejabat Usaha Negara harus memenuhi unsur-unsur yang dipersyaratkan, yakni :
1. Keputusan tersebut telah diatur oleh peraturan perundan-undangan yang memberikan suatu pilihan,
2. Belum adanya ketentuan peraturan yang mengatur
3. Peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas
4. Karena adanya stagnasi pemerintaha guna kepentingan yang lebih luas
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, penggunaan hak diskresi harus bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum
Pasal 22 tersebut di atas menggambarkan bagaimana penggunaan diskresi menjadi suatu hal yang penting dalam konetks Tata Usaha Negara. Tidak semua regulasi yang ada saat ini dapat menjangkau pengaturan tugas, wewenang dan tanggungjawab pejabat apalagi yang bersifat teknis. Untuk itu pada situasi tertentu perlu adanya tindakan subyektif pejabat bersangkutan dalam kelancaran pelaksanaan tugasnya. Namun agar tindakan subyektif tersebut tetap berada pada koridor dan guna menghindari tindakan sewenang-wenang maka penggunaan Diskresi tetap diatur dalam batasan – batasan tertentu.
Parameter penggunaan diskresi dapat dijelaskan ketika pejabat tata usaha Negara dihadapkan pada pilihan yang diberikan undang-undang, dalam hal ini seorang pejabat dihadapi dengan dua pilihan tindakan, dari dua alternatif tersebut pejabat diberikan keleluasan untuk memilih salah satu sehingga pilihan itulah yang disebut dengan diskresi.
Kedua, peraturan tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas. Jika dalam sebuah aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya belum ada, belum lengkap atau multitafsir maka seorang pejabat dapat menggunakan hak diskresinya guna menghindari stagnasi dalam pelaksanaan tugas.
Sedangkan ketiga, adanya ancaman stagnasi pemerintahan jika pejabat tidak mengambil suatu tindakan, ancaman terjadinya stagnasi dapat dipahami sebagai keadaan darurat, mendesak, dan/atau bencana. Ketika terjadi keadaan urgensi maka secara hukum pejabat diberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan atau tindakan dengan tujuan untuk merespon keadaan tersebut demi kepentingan umum.
Berdasarkan urian tersebut, maka kembali kepada contoh kasus diatas kedudukan hokum dalam konteks penggunaan Diskresi dapat dijelaskan sebagai berikut :
Untuk kasus pertama, penyimpangan terhadap ketetntuan lalu lintas oleh Pelantas telah diatur dalam 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara yang menyatakan :
“Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.”
Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Peraturan Kepala Kepolisian nomor 10 Tahun 2012, menyatakan bahwa pengaturan lalu lintas dalam keadaan tertentu dilakukan pada saat sistem lalu lintas tidak berfungsi untuk Kelancaran Lalu Lintas yang disebabkan antara lain oleh karena terjadi keadaan darurat seperti:
a. perubahan lalu lintas secara tiba-tiba atau situasional;
b. adanya pengguna jalan yang diprioritaskan;
c. adanya pekerjaan jalan;
d. adanya kecelakaan lalu lintas;
e. adanya aktivitas perayaan hari-hari nasional antara lain peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun suatu kota, dan hari-hari nasional lainnya;
f. adanya kegiatan olahraga, konferensi berskala nasional maupun internasional;
g. terjadi keadaan darurat antara lain kerusuhan massa, demonstrasi, bencana alam, dan kebakaran; dan
h. adanya penggunaan jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas.
Keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g diuraikan dalam Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa koeadaan darurat pengaturan lalu lintas meliputi :
a. memberhentikan arus lalu lintas dan/atau pengguna jalan;
b. mengatur pengguna jalan untuk terus jalan;
c. mempercepat arus lalu lintas;
d. memperlambat arus lalu lintas;
e. mengalihkan arus lalu lintas; dan/atau
f. menutup dan membuka arus lalu lintas.
Berdasarkan uraian tersebut maka tindakan Petugas Pelantas termasuk dalam katagori Diskresi karena telah memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan
Untuk kasus yang kedua tindakan Kepala Daerah yang mengalihkan ijin konsesi dari satu perusahaan ke perusahaan lain dapat dinilai sebagai sebuah tindakan sewenang-wenang dan dapat dibatalkan berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
SK Kepala Daerah yang telah memberikan ijin ke pelaku usaha haruslah diberikan pembinaan dalam tahapan perolehan lahanny. Jika pelaku usaha belum dapat menunaikan janji/kewajibannya maka harus diberikan teguran dan jika benar-benar perusahaan tersebut tidak juga dapat menunaikan kewajibannya barulah Kepala Darah dapat mencabut ijin tersebut sehingga bersdasarkan SK pencabutan yang telah diterbitkan maka atas areal tersebut jika dimohonkan oleh Pihak lain dapat diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain hal tersebut juga alasan sebagaimana yang dipersyaratkan berdasarkan ketentuan Pasal 23 dan Tujuan dari pengambilan kebijakan tidak memenuhi unsur sebagaiamana dimaksud dalam pasal 22 .maka Tindakan Kepala Daerah tersebut tidak termasuk dalam katagori Diskresi dan berpotensi digugat.
Untuk kasus yang terakhir, adalah merupakan hak setiap siswa yang telah mengikuti ujian nasional dan dinyatakan lulus mendapat ijazah sebagai tanda kelulusan serta menjadi syarat melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Hak mendapat ijazah merupakan hak mutlak yang dimiliki siswa dalam sistem pendidikan nasional. Penerapan dan Pelaksanaan Permendikbud haruslah dipahami dalam konteks yang lebih luas. Jangan sampai hanya untuk memenuhi ketentuan tersebut mengakibatkan kepentingan yang lebih besar terabaikan. Oleh sebab itu maka Pejabat yang berwenang dapat menggunakan hak Diskresinya dalam rangka untuk mencegah terjadinya stagnasi, ketidakpastian hokum serta untuk melindungi kepentingan yang lebih besar. Alasan tersebut telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tenang Administrasi Pemerintahan.
Komentar