MEMAHAMI PERALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERBA BERDASARKAN UU NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN UU NOMOR 4 TAHUN 2009
TENTANG PERTAMBANGAN MINERBA
Oleh : Sumarlin ZBU
Carut marut pengelolaan pertambangan di Indonesia semakin mengemuka dengan banyaknya temuan BPK terkait dengan kewajiban royalti dan pajak lainnya yang tidak disetor ke Kas Negara. Belum lagi tumpang tindih lahan, ketidak sesuaian tata ruang, konflik dengan masyarakat dan setumpuk permasalahan lainnya. Desakan atas perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara semakin menguat disampaikan oleh masyarakat, praktisi maupun politisi guna mengurai benang kusut permasalahan pertambangan yang semakin runyam.
Untuk merespon desakan tersebut, pada tanggal 10 Juni 2020 Presiden dan DPR telah menandatangani Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Tulisan ini khusus mengulas terkait dengan peralihan kewenangan perijinan pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 173 c UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba menyatakan sebagai berikut :
Pasal 173c ayat (1)
Pelaksanaan kewenangan pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara oleh Pemerintah Daerah provinsi yang telah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OOg tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49591 dan Undang-Undang lain yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara tetap berlaku untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku atau sampai dengan diterbitkannya peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka kewenangan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masih dapat dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang tersebut diberlakukan atau sampai dengan diterbitkannya peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang meliputi :
Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangarl mineral dan batubara, antara lain, adalah:
a) pembuatan peraturan perundang-undanga.n daerah;
b) pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konf?ik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupatenjkota dan/at.au wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
c) pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya bernda pada lintas wilayah kabupatenlkota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
d) pemberian IUP, pembinaan, penye1esaia.n konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang berdampak lingkungan langsung lint~s kabupaten / kota dan/atau wilayah laut 4 (em pat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
e) penginventarisasian, penyelidikan dan penclitian serta eksplorasi dalam rangka memperolsh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya;
f) pengelolaan informasi geologi, inforinasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta. inf~rmasi pertambangan pada daerahlwilayah provinsi;
g) penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerahlwilayah provinsi;
h) pengembangan clan peningkatan nilai tambah kegiatar, usaha pertambangan di provinsi;
i) pengcmbangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambarlgari dengari memperhatikan kelestarian lingkungan;
j) pengoordinasian perizinan dan pen gawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tam bang sesuai dengan kewenangannya;
k) penyampaian informasi hasil inventari sasi penyelidikan umum, dan penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan bupati/ walikota;
l) penyampaian informasi hasil produ ksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan bupati/ walikota;
m) pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang; dan
n) peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatenlkota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Baca juga Diskresi berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
Artinya Pemerintah Provinsi masih dapat melaksanakan kewenangan tersebut sekalipun dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 kewenangan tersebut dihapus. Namun khusus untuk penerbitan perijinan Gubernur tidak dapat menerbitkan perijinan baru. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ayat (2) yang menyatakan :
Pasal 173c ayat (2)
Dalam jangka waktu pelaksanaan kewenangan pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri atau gubernur tidak dapat menerbitkan perizinan yang baru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) dan Undang-Undang lain yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Ketentuan tersebut tegas menyatakan bahwa Gubernur tidak dapat lagi menggunakan kewenangannya dalam hal penerbitan ijin. Namun yang menjadi Kelemahan dalam Undang-Undang tersebut pada penjelasan tidak menguraikan terkait dengan nasib perijinan yang sedang/telah diproses dan atau perijinan yang dalam tahap peningkatan operasi produksi. Demikian juga tidak terdapat KETENTUAN PERALIHAN yang diharapkan dapat menjembatani pemberlakukan undang undang sebelumnya dan undang undang baru. Ketiadaan penjelasan dan KETENTUAN PERALIHAN akan mengakibatkan kebingungan dalam tahap implementasi dilapangan.
Sekalipun Pemerintah menyadari kelemahan Undang-Undang tersebut dengan menerbitkan surat Nomor 742 Tanggl 18 Juni 2020, yang pada dasarnya memberikan penjelasan terkait proses perijinan yang belum diuraikan baik didalam Penjelasan maupun ketentuan peralihan dalam UU dimaksud. Namun langkah tersebut tidak menggambarkan kejelian dan kehati-hatian dalam menerbitkan suatau produk Hukum yang bersifat nasional.
Berdasarkan surat Kementerian ESDM tersebut disampaikan bahwa yang dimaksud perijinan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 173 C ayat 2 adalah :
1. Ijin Usaha Pertambangan;
2. Ijin Pertambangan Rakyat;
3. Ijin sementara untuk melakukan pengangkutan;
4. Ijin Usaha untuk pertambangan khusus pengolahan dan/atau pemurnian;
5. Ijin Usaha untuk pertambangan khusus pengangkutan dan penjualan;
6. Ijin Usaha Jasa Pertambangan; dan
7. Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi untuk penjualan
Sementara untuk perijinan yang meliputi :
1. Peningkatan IUP Explorasi menjadi IUP Operasi Produksi
2. Pemberian Perpanjangan terhadap perijinan angka 1 sampai dengan angka 7 tersebut diatas
3. Penyesuaian perijinan dalam rangkaperubahan status penanaman modal; dan
4. Persetujuan dan rekomendasi terkait pelaksanaan pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara
Masih dapat diproses berdasarkan ketentuan Pasal 173 C ayat (1) UU nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dengan batas waktu maksimal 6 bulan sejak UU nomor 3 Tahun 2020 berlaku atau jika telah terbit Peraturan Perundang-undangan pelaksananya.
Seyogyanya penjelasan yang disampaikan melalui surat Kementerian ESDM masuk dalam Norma yang tertuang dalam batang tubuh melalui ketentuan peralihan atau paling tidak penjelasan. Klausul tersebut menjadi hal yang sangat urgen sebagai transisi dari pemberlakuan Undang-Undang sebelumnya dengan Undang-Undang Baru. Bukan dengan cara penjelasan melalui surat yang hanya ditandatangani oleh pejabat Plt. Eselon I di Kementerian ESDM.
Selanjutnya untuk seluruh perijinan baru sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 7 yang ijinnya belum diterbitkan hingga tanggal 10 Juni 2020 wajib mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 20202 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.
Komentar